A. PENDAHULUAN
Perkembangan zaman saat ini berkembang dengan sangat cepat, yang berdampak pada banyak aspek kehidupan manusia. Perubahan dalam komunikasi adalah salah satu contohnya. Perubahan ini salah satu penyebabnya adalah internet, karena anak muda zaman sekarang yaitu generasi z dan generasi alpha adalah pengguna internet yang sangat masif. Dan di internet sangat banyak informasi yang ada baik positif maupun negatif.
B. Fenomena Penggunaan Bahasa kasar di kalangan anak muda
Sekarang Kata-kata kasar sudah menjadi hal yang biasa dan sudah diwajarkan. Misalnya, ketika seseorang bermain game dan kalah, mereka akan memaki maki dan berbicara kasar, dan hal ini sering dianggap normal oleh banyak orang. Selain itu, ketika anak-anak berbicara dengan cara yang tidak sopan, mereka sering dianggap sepele atau bahkan dijadikan bahan candaan oleh orang-orang di sekitar mereka.
Hal ini pasti akan menimbulkan masalah di masyarakat karena orang tua yang mendengarnya akan menganggap ucapan tersebut tidak sopan dan melanggar standar kesantunan. Namun, anak-anak muda menganggapnya normal dan bahkan kadang-kadang dianggap sebagai cara berbicara yang gaul dan jujur apa adanya. Di sinilah muncul semacam perbedaan pendapat antara dua generasi: satu generasi melihatnya sebagai hal yang salah, sedangkan generasi lain menganggapnya masuk akal dan tidak perlu diperdebatkan.
Yang lebih memprihatinkan, kata-kata kasar tersebut kini bahkan sudah menjadi bagian dari kalimat sehari-hari. Misalnya, ucapan seperti “aduh capek banget anj**g” atau “udah makan belum c*k” sudah sering terdengar di berbagai situasi dari obrolan santai sampai media sosial. Dan yang lebih parah lagi mereka tidak sadar mengucapkan hal kasar tersebut bahkan hal tersebut sudah seperti reflek yang otomatis terucap.
Hal ini tentunya menimbulkan masalah sosial, di mana orang-orang tua yang mendengarnya akan menganggap ucapan tersebut sebagai sesuatu yang tidak sopan dan melanggar norma kesantunan. Namun bagi anak-anak muda, hal itu dianggap biasa saja, bahkan kadang dianggap sebagai bagian dari cara berbicara yang gaul dan jujur apa adanya. Dari sinilah muncul semacam ketidaksepahaman antara dua generasi: yang satu memandangnya sebagai hal yang salah, sedangkan yang lain menganggapnya wajar dan tidak perlu dibesar-besarkan.
Perbedaan pandangan ini sering menimbulkan jarak komunikasi antara generasi muda dan orang tua. Orang tua merasa anak-anak sekarang sudah tidak tahu sopan santun, sementara anak muda merasa orang tua terlalu kolot dan tidak memahami cara mereka mengekspresikan diri. Padahal sebenarnya, keduanya bisa saling memahami jika ada ruang dialog yang terbuka dan saling menghargai. Bahasa memang terus berkembang, tapi nilai kesantunan tetap perlu dijaga agar tidak hilang dalam arus modernisasi.
Sebenarnya hal tersebut juga ada salah dari lingkungan sekitarnya. Seperti yang dijelaskan oleh Kridalaksana (2011), bahasa merupakan cerminan budaya dan nilai sosial suatu masyarakat, sehingga perubahan dalam cara berbahasa menunjukkan adanya pergeseran dalam cara berpikir dan berperilaku.
Oleh karena itu untuk menghilangkan permasalahan ini terus berlangsung maka kita harus mencari solusi dari permasalahan ini apakah bisa hal tersebut dikembalikan seperti awal. Tetapi sebelum mencari solusi kita harus mencari sumber masalahnya terlebih dahulu bagaimana bisa hal ini menjadi semakin berkembang.
C. Penyebab hal ini bisa terjadi
Banyak faktor yang menyebabkan hal ini bisa terjadi, dan salah satunya adalah pengaruh media sosial. Sekarang banyak influencer atau konten kreator yang membuat video dan konten di berbagai platform, tetapi tidak sedikit dari mereka yang menggunakan bahasa kasar atau bersikap toxic demi terlihat lucu, jujur, atau menarik perhatian. Saking banyaknya yang seperti itu bahkan apabila ada konten creator yang tidak toxic malah di anggap aneh dan dianggap “langka”. Hal ini tentunya sangat berbahaya, karena kita tau bahwa anak zaman sekarang sehari harinya mengkonsumsi konten internet, apalagi ada anak kecil dan remaja yang sedang dalam masa menyerap atau meniru yang dia lihat. Sehingga secara tidak langsung dia akan mengikuti konten creator yang dia lihat seperti berbicara kasar dan lain lain.
Media sosial yang seharusnya menjadi sarana belajar dan hiburan justru bisa menjadi tempat di mana kata-kata kasar dinormalisasi. Ketika anak-anak sering melihat tokoh yang mereka kagumi berbicara dengan cara seperti itu, mereka akan menganggapnya wajar dan mulai menirunya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam jangka panjang, hal ini bisa membentuk pola bahasa dan perilaku komunikasi yang cenderung keras, padahal mereka mungkin tidak bermaksud begitu.
Lebih parahnya lagi, sebagian besar masyarakat menanggapi hal tersebut dengan santai, seolah-olah itu hanyalah hiburan semata. Padahal, konten seperti itu bisa memberi dampak besar terhadap perkembangan cara berpikir dan berbicara anak-anak muda. Lama-kelamaan, mereka akan terbiasa dengan bahasa kasar tanpa sadar bahwa hal itu bertentangan dengan nilai kesopanan yang seharusnya dijaga dalam budaya Indonesia.
Faktor yang lain berasal dari lingkungan. Sekarang sudah sangat umum jika kita menemukan orang orang yang berkata kasar di tempat umum, bahkan kata kasar tersebut malah dijadikan panggilan terhadap orang contohnya : “eh udah makan belum j*ng” “woy g*bl*** mau kemana lu” sehingga hal ini sudah terlihat sangat umum. Yang sangat miris adalah kebiasaan ini juga ada di sekolah atau lingkungan akademik. Hal ini memang sangat mengecewakan bahkan di lingkungan akademik yang harusnya menjadi tempat belajar, malah sudah masuk hal negatif yang tidak sesuai norma yang berlaku. Dan hal ini tentunya adalah hal yang buruk, sekarang anak anak berani mengucapkan kata kata kasar karena merasa hal tersebut sudah umum dilakukan. Yang memperburuk keadaan tidak ada yang menegur saat mereka mengatakan hal tersebut, karena sama sama merasa bahwa hal tersebut sudah umum.
Lingkungan memang memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan karakter dan kebiasaan seseorang. Jika anak-anak sering mendengar kata-kata kasar dari orang yang lebih tua atau dari teman-temannya, lambat laun mereka akan menganggap hal itu sebagai bagian dari gaya bicara normal. Tanpa adanya bimbingan dan pembatasan dari orang tua atau guru, kebiasaan tersebut akan sulit diubah. Akhirnya, kata-kata kasar bukan hanya menjadi kebiasaan sementara, tapi berkembang menjadi bagian dari identitas sosial mereka dalam berkomunikasi.
D. SOLUSI PERMASALAHAN
Solusi untuk hal ini mungkin bisa dimulai dari hal-hal sederhana namun berdampak besar. Salah satunya adalah dengan melakukan sosialisasi kepada para orang tua dan anak-anak muda tentang pentingnya menjaga bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua harus memberikan pengajaran terhadap anak anaknya dimulai dari hal kecil mungkin menegur atau memarahi anaknya ketika dia berkata kasar. Dan untuk anak anak muda juga harus memulai kebiasaan untuk tidak berkata kasar, ya apabila hal itu sudah sangat sulit dilakukan minimal mereka harus tidak berkata kasar ketika berada di tempat umum yang ada anak anak kecil. Hal ini harus dilakukan untuk menghilangkan kebiasaan ini. Jika kebiasaan ini tidak bisa dihilangkan di generasi saat ini, minimal generasi kedepanya tidak terpengaruh hal ini juga.
Selain itu, media sosial juga bisa menjadi tempat yang baik untuk menanamkan kesadaran baru. Platform-platform besar seperti TikTok, Instagram, atau YouTube bisa menerapkan community guideline yang lebih tegas terhadap konten yang mengandung kata-kata kasar atau perilaku toxic. Dengan begitu, lingkungan digital bisa menjadi ruang yang lebih sehat dan positif untuk anak muda.
Perubahan memang tidak bisa dilakukan secara instan, tapi dimulai dari kesadaran kecil — seperti memilih kata yang lebih sopan saat berbicara, menegur teman dengan cara baik ketika mereka berkata kasar, dan membiasakan diri untuk berbicara positif. Jika hal-hal kecil ini dilakukan secara konsisten, maka lambat laun budaya berbahasa santun bisa kembali menjadi kebiasaan yang kuat di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Jay, T., & Janschewitz, K. (2008). The Pragmatics of Swearing. Journal of Politeness Research, 4(2), 267–288.
Khusna, L. (2021). Indonesian Youths’ Perception Toward Swearing and Taboo Expression. Jurnal Pendidikan Bahasa Inggris, 9(1), 12–25.
Kridalaksana, H. (2011). Kamus Linguistik (Edisi ke-4). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Setyaningtias, R., Rasyidah, F., & Pratiwi, D. (2023). The Use of Swearing Words of Young Multicultural Students: A Sociolinguistic Study. Electrum: Journal of Language and Society, 5(2), 43–52.
Tapscott, D. (2009). Grown Up Digital: How the Net Generation is Changing Your World. New York: McGraw-Hill.