Asus dikenal sebagai salah satu produsen laptop gaming paling inovatif di dunia. Setiap tahunnya, mereka selalu berusaha menghadirkan terobosan baru dalam hal desain, performa, maupun sistem pendinginan. Salah satu produk terbaru mereka, Asus Gaming V16, memperkenalkan konsep pendinginan yang disebut “Venturi Airflow”, terinspirasi dari prinsip aerodinamika.
Secara teori, sistem ini menjanjikan efisiensi pendinginan yang lebih tinggi dengan aliran udara yang lebih cepat dan terarah. Namun, setelah saya mencobanya secara langsung, terutama dalam kondisi iklim tropis yang panas, hasilnya tidak seefektif yang dijanjikan.
Mengenal Konsep “Venturi Airflow”
Nama Venturi Airflow diambil dari efek Venturi, yaitu fenomena fisika di mana fluida (termasuk udara) yang melewati celah sempit akan mengalami percepatan karena penurunan tekanan. Dalam konteks laptop, Asus mencoba memanfaatkan prinsip ini untuk mempercepat sirkulasi udara panas keluar dari bodi laptop.
Desain ventilasi dan ruang kipas pada Asus Gaming V16 dibuat sedemikian rupa agar udara masuk dari sisi bawah dan diarahkan dengan kecepatan tinggi menuju area pembuangan di belakang dan samping laptop.

Namun, di balik konsep tersebut, ada satu hal menarik sekaligus membingungkan: Asus tidak memberikan direct intake airflow, lubang udara masuk langsung di atas kipas seperti yang lazim ditemukan di laptop gaming lain.
Sebaliknya, udara hanya masuk melalui jalur sempit di bawah bodi, dan di situlah prinsip Venturi diharapkan bekerja. Sayangnya, dalam praktiknya, jalur udara yang terbatas ini justru membuat sirkulasi panas kurang efisien, terutama di kondisi ruangan bersuhu tinggi.
Pengujian di Dua Kondisi Suhu Berbeda
Untuk menguji seberapa efektif sistem pendingin ini, saya melakukan dua pengujian sederhana. Laptop Asus Gaming V16 yang saya gunakan dibekali prosesor Intel Core 5 210H, GPU RTX 4050 Laptop 6GB VRAM, dan RAM 16 GB DDR5 Dual-Channel. Semua pengujian dilakukan menggunakan profil standar dari aplikasi MyAsus, karena laptop ini tidak memiliki Armoury Crate seperti seri ROG dan TUF.
Fitur di MyAsus sendiri cukup terbatas hanya ada opsi seperti Performance Mode dan Whisper Mode, tanpa kontrol mendetail untuk kipas atau voltage tuning.
Skenario pertama, laptop saya gunakan di ruangan berpendingin udara (sekitar 22°C). Dalam kondisi ini, performanya cukup baik. Suhu CPU saat bermain Valorant pada pengaturan “High” berada di kisaran 70–78°C, sementara GPU bertahan di 68°C. Suara kipas tidak terlalu mengganggu, dan laptop terasa nyaman digunakan dalam sesi bermain panjang.
Skenario kedua, saya coba di ruangan tanpa AC dengan suhu sekitar 31–33°C — situasi yang sangat umum di Indonesia. Di sinilah perbedaan mencolok terlihat. Dalam waktu kurang dari 20 menit bermain, suhu CPU melonjak ke 92°C, dan GPU mendekati 87°C. Kipas bekerja keras hingga terdengar cukup bising, tetapi panas tetap sulit dikendalikan.
Performa pun menurun; frame rate turun sekitar 10–15%, dan sesekali terjadi stuttering. Permukaan laptop, terutama area bawah dan di atas keyboard, terasa sangat hangat hingga kurang nyaman disentuh.

Ketika Teori dan Realita Tak Sepenuhnya Selaras
Secara teori, Venturi Airflow memang menjanjikan peningkatan efisiensi pendinginan melalui percepatan aliran udara. Namun, di praktik nyata terutama di iklim tropis hasilnya tidak seideal yang dibayangkan.
Masalah utama tampaknya terletak pada desain jalur udara yang terlalu sempit tanpa adanya direct intake di atas kipas. Udara yang masuk dari bawah laptop pada suhu ruangan tinggi sudah cukup panas, sehingga sistem tidak punya “udara dingin” untuk digunakan dalam pendinginan.
Aliran udara memang cepat, tetapi suhu udara yang masuk terlalu tinggi untuk memberikan efek signifikan.
Selain itu, karena laptop ini tidak dilengkapi perangkat lunak seperti Armoury Crate, pengguna tidak bisa menyesuaikan kecepatan kipas secara manual atau mengatur profil agresif yang mungkin bisa membantu menjaga suhu tetap rendah. MyAsus hanya memberi kontrol dasar, dan tampaknya Asus sengaja membatasi opsi itu untuk segmen non-ROG.
Dengan kata lain, sistem pendingin Venturi Airflow pada Asus Gaming V16 bekerja baik di atas kertas dan dalam suhu rendah, tapi gagal menunjukkan keunggulannya di lingkungan panas nyata.
Analisis Tambahan: Fokus pada Desain Lebih dari Fungsi?
Melihat konstruksi bodinya, Asus tampak berusaha mempertahankan desain yang ramping dan minimalis untuk seri V16. Ventilasi bawah dibuat kecil dan tidak terlalu terbuka, kemungkinan agar tampilan laptop tetap elegan dan tidak tampak “kasar” seperti laptop gaming konvensional.
Namun, keputusan ini justru membuat sistem pendinginan kehilangan “napas”. Venturi Airflow membutuhkan ruang udara yang cukup untuk menciptakan perbedaan tekanan — dan di sinilah konsepnya tidak diterapkan dengan benar.
Beberapa laptop lain di kelas yang sama masih mempertahankan lubang direct intake besar tepat di atas kipas. Desain itu memang tidak selalu menarik secara visual, tapi terbukti jauh lebih efektif menjaga kestabilan suhu dalam jangka panjang.
Kesimpulan: Inovasi yang Menarik, Tapi Kurang Siap untuk Tropis
Tidak bisa dipungkiri, Asus Gaming V16 membawa ide yang segar lewat Venturi Airflow. Asus tampak ingin menunjukkan bahwa mereka bisa menghadirkan solusi pendinginan inovatif tanpa mengorbankan desain yang ramping dan profesional.
Sayangnya, penerapannya kali ini terasa belum matang. Tanpa direct intake airflow, dan hanya mengandalkan jalur sempit di bawah bodi, sistem ini tidak mampu menjaga suhu stabil di kondisi panas.
Keterbatasan fitur pengendalian kipas di MyAsus juga memperburuk situasi pengguna tidak bisa melakukan optimasi lanjutan seperti pada seri ROG dengan Armoury Crate.
Pada akhirnya, Asus Gaming V16 tetap laptop yang kuat dan cepat di ruangan bersuhu rendah. Tapi di iklim tropis seperti Indonesia, Venturi Airflow terasa lebih seperti eksperimen desain daripada solusi pendinginan yang benar-benar efektif.
Inovasi memang penting, namun terkadang, sains sederhana seperti memberi udara masuk langsung ke kipas masih menjadi cara terbaik untuk tetap dingin.